Senin, 01 Juni 2015

Assalamu'alaikum..
Khaifa haluk ya akhi, ukhti?
Masih teringat jelas bagaimana perjuangan kita menegakkan dakwah semasa SMA? Semoga sekarang pun juga masih dan insya Allah tetap istiqomah ya ^^
Jujur, saya kangen dengan masa perjuangan kita melewati jaman yang terbilang sudah sulit untuk meluruskan yang telah bengkok. Namun, dengan kebersamaan kita dan atas ridho-Nya, insya Allah kita bisa :)
Pasti sudah banyak dari kalian yang telah memasuki pendidikan yang lebih tinggi, atau berkarir dengan profesi yang sedang dijalaninya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan dan kelancaran bagi kita semua. Aamiin :)
Saya masih menyimpan video semasa kita re-organisasi nih...


Dan beberapa foto kegiatan...
Bedah Film "Hafalan Shalat Delisa" 
(2012)


 
Buka Bersama di Bulan Ramadhan


Kunjungan Panti di Panti Asuhan Putri Aisyiyah Klaten




Training Organisasi (Akhwat)



Zakat Fitri 2012




Tadabur alam (akhwat)


Dan, masih banyakkk lagi kegiatan-kegiatan lainnya. Semoga dengan segelintir foto ini, bisa meningkatkan efek kenangan dan perjuangan kita selama ini. #keephamasah :)

Rohisku, Islamku

     Aku selalu berusaha untuk memandang keluar. Dengan pemikiranku sendiri, aku mulai melukiskan kebimbangan hatiku. Aku heran, mengapa akhir-akhir ini Ayah dan Bunda tak lagi menemaniku? Mengapa Ayah dan Bunda sibuk dengan karirnya? Mengapa mereka sekarang tak berada di sisiku? Mengapa mereka tak punya sedikitpun waktu untukku sekarang? Mengapa, mengapa dan mengapa serta banyak pertanyaan lain untuk mereka. Namun tetap saja Ayah dan Bunda tidak berada di sisiku sekarang ini.
          Sementara tadi pagi, mereka hanya menitipkan seiris roti tawar bertabur messes kacang kesukaanku, dan sebuah note kecil yang bertuliskan :
Maria sayang, maafkan Ayah dan Bunda kalau harus pergi ke kantor dulu tanpa membangunkan engkau.  Seiris roti kesukaanmu sudah Bunda siapkan di atas meja makan beserta susu coklat hangat. Selamat menikmati dan semoga Tuhan memberkati kita hari ini…
Love U dear…
Ayah & Bunda
          Senang rasanya, Bunda masih mau membuatkan roti kesukaanku. Tetapi, saat aku mau berangkat ke sekolah, aku mulai merasa jengkel padanya. Sebab, aku tak lagi mendapat pelukan hangat dari beliau setiap paginya. Yah, Bundaku bekerja sebagai Direktur Umum di sebuah perusahaan yang terkenal di kota ini. Sementara Ayah, kini beliau tak lagi bisa mengantarkanku ke sekolah, karena jabatan baru sebagai Kepala Bagian Pemasaran yang diterimanya membuat beliau semakin banyak tugas. Maka, aku harus diantar jemput oleh Mang Uli, sopir keluarga kami.
          Ahhh..rasanya sedih sekali. Saat aku melihat teman-temanku diantar oleh orangtua mereka ke sekolah. Tapi tidak untukku. Dengan langkah gontai, aku keluar dari dalam mobil dan mulai memasuki sekolahku yang berada di jantung kota Magelang ini, SMA Bhakti Persada.
          “ Mariaaa..hei, tunggu !!! ”, seru salah satu temanku, Anissa. Ia sedang mempercepat langkahnya. Dan aku, menungguinya di tangga menuju kelas.
          “ Ada apa? ”, tanyaku.
          “ Kau kenapa Maria? Ada masalah? Berceritalah.. ”, katanya sambil membawa banyak lembaran yang entah apa, aku sendiri pun tak tahu.
          “ Ah tidak ”, jawabku sekenanya.
          “ Lalu, ada apa denganmu? Kenapa kau terlihat murung? ”
          “ Hm, sudahlah Nis.. Ayo ke kelas. Sebentar lagi bel berbunyi, bukan? ”
          “ Baiklah..”, jawabnya dengan rasa penasaran yang masih tersimpan.
          Anissa, ia adalah perempuan yang aku kagumi di kelasku. Sebab, dia pintar dan aktif, baik di kelas maupun dalam berorganisasi. Ia juga seorang yang berjilbab dan rendah hati serta penyabar. Anissa sangat menghormatiku, walaupun aku berbeda agama dengannya. Bahkan, ia jauh lebih menghargai daripada temanku sesama Kristen. Itulah yang membuatku semakin kagum dengan sosok Anissa.
          “ Rin, nanti ada kajian lho di mushola. Jangan izin lagi ya ! ”, kata Anissa kepada Arini. Arini adalah teman semejaku.
          “ Iya deh, nanti ndak bakal izin lagi kok. Soale ketuane yang nyuruh..hehe ”, jawab Arini dengan bahasa Jawanya yang kental.
          Usai percakapan itu aku mulai penasaran. Suatu organisasi kerohanian islam di sekolahku mengadakan kajian di mushola sekolah. Berisi apakah kajian itu? Apakah membahas suatu perbandingan agama yang umumnya dikatakan oleh teman-teman Kristenku kemarin itu? Rasa penasaranku terus bergejolak di hati. Seiring dengan berjalannya waktu yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar hari ini, pikiranku semakin membuncah pada kajian itu. Haruskah aku menyelidiki kajian rohis itu? Dengan tujuan, agar aku dapat membedakan manakah yang benar dan salah? Apakah pendapat dari temanku itu atau rohis SMA Bhakti Persada yang ingin mengacaukan agama non-is?
          “ Eh rin, nanti rohis ada kajian ya? ”, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya pada Arini. Ia terdiam dan menatapku. Tersenyum..
          “ Iya, emange kenapa Maria? Meh ikut? ”, goda Arini.
          “ Ehm.. Memangnya boleh apa orang non-is ikut kajian? ”, tanyaku
          “ Boleh saja. Why not? ”, jawab Anissa dengan senyum manisnya.
          “ Lho, ketuane wae mengijinkan. Emange ada apa to? Kok tumben banget meh ikut kajian rohis? ”, kali ini Arini bertanya dengan nada yang serius.
          “ Eh rin, nggak boleh gitu dong. Jaga bicaramu rin..jangan sampai Maria tersinggung oleh perkataanmu tadi. ”, Anissa yang berbisik ke arah Arini, dan terdengar olehku.
          “ Nggak apa-apa kok Nis. Aku sama sekali nggak tersinggung. Maaf ya, tadi pagi sikapku ketus dan nggak mau jawab pertanyaanmu. ”, kataku sambil menahan lara.
          “ Alhamdulillah.. nggak apa-apa Maria. Aku juga minta maaf ya, kalau pertanyaanku membuatmu agak kesal gitu. ”, katanya dengan tersenyum.
          “ O, lha kowe podho..kok pada maaf-maafan ki ono opo to? Aku ora ngerti iki. ”, sanggah Arini yang tidak tahu tentang kejadian pagi tadi.
          Aku dan Anissa terkekeh, sedangkan Arini hanya mengomeli kami. Yah, mungkin kebersamaan selain dengan orangtua, dan itu dengan mereka inilah yang kudambakan. Dan tetap saja, aku merindukan saat bersama Ayah dan Bunda. Kami kembali fokus pada soal Kimia yang berada di depan mata kami. Dua jam pelajaran yang kosong, telah berhasil menyulapku dekat dengan dua muslimah ini.
          Waktu pun telah berlalu, aku kini tengah berada dalam sekumpulan anggota rohis untuk mendengarkan kajian yang disampaikan oleh seorang wanita yang kerap disapa Mbak Danik. Semua mata memandangku, kecuali Anissa dan Arini. Maklumlah, aku berbeda dengan mereka. Aku tidak berjilbab seperti mereka. Aku tak anggun selayaknya mereka. Dan aku bukanlah seorang muslimin. Aku seorang Protestan. Apalagi teman sesama Kristenku, mereka memandangku seakan penuh tanda tanya dan mencibirku. Ah, aku tak peduli. Aku hanya ingin mencari jawaban tentang semua ini. Saat mereka bilang, bahwa Islam itu agama yang suka membedakan dan mengucilkan agama lain.
          Dari sinilah aku mulai mengagumi Islam. Ternyata dugaan mereka tentang Islam sangatlah salah. “ Islam tidak pernah membedakan dan mengucilkan agama lain, karena Islam percaya bahwa Allah hanya satu. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan itu telah terbukti. Sebab Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Ikhlas. ”,  jawab Mbak Danik saat aku bertanya pada session tanya jawab.
          Karena hari sudah sore, dan Mang Uli telah menungguiku hampir 1 jam, maka aku mulai pamit kepada teman-teman baruku itu. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku mulai berkhayal jika aku masuk Islam dan mengenakan jilbab seperti anak-anak rohis tadi. Pasti aku akan merasa nyaman dari godaan lelaki nakal.
          “ Ngelamunin apa sih Mbak, kok senyum-senyum sendiri? ”, tanya Mang Uli yang membuyarkan lamunanku.
          “ Ah, tidak Mang. Oh iya, Mang Uli punya Al-Qur’an kan Mang? Nanti sore bawa ke rumah ya.. Aku tunggu lho, pokoknya jangan sampai lupa ! ”, kataku pada beliau. Dalam hati, aku kepengin sekali bisa mengetahui isi Al-Qur’an itu.
          “ Hah? Untuk apa sih Mbak? ”, tanya Mang Uli yang mungkin penasaran dengan kata-kataku tadi.
          “ Ehm, ndak apa-apa Mang, Maria hanya ingin tahu bagaimana isinya. Itu saja. ”, jawabku dengan senyum dan lamunan yang terus membumbung.
          Sesampainya dirumah, tak kulihat sosok Ayah dan Bunda. Mungin mereka belum pulang, pikirku. Aku mulai masuk ke kamar dan membuka buku Agama yang diterangkan guruku tadi pagi. Ah, rasa lapar melandaku. Sementara Ayah dan Bunda belum pulang juga.
          “ Huftt..ini kan sudah jam 5 sore, masa Ayah dan Bunda belum pulang juga? ”, keluhku.
          Tok..tok..tokkk.. “ Permisi Mbak Maria. ”, seru seseorang di luar sana.
          Ku buka pintu kamarku dan kudapati Mang Uli membawakanku sebuah buku, dan pasti itu Al-Qur’an. Tak lupa, beliau membawakanku serantang makanan.
          “ Ini Mbak Al-Qur’annya. ”, kata Mang Uli seraya menyerahkan kitab itu kepadaku. “ Ini juga ada sedikit makanan dari rumah. Pasti Mbak Maria lapar kan? ”, godanya.
          “ Oh, terimakasih Mang. Terimakasih juga makanannya. ”, ucapku. “ Mang Uli sudah makan belum? Kalau belum, sini makan sama Maria. ”, ajakku sambil membawa dua benda itu menuruni tangga menuju ruang makan.
          “ Sudah Mbak, Mang tadi makan di rumah. ”, kata beliau. Kami pun terdiam. Aku mulai menyantap makanan itu. “ Emm..kalau boleh tahu, untuk apa Mbak Maria mengkaji Al-Qur’an? ”, tanya Mang Uli itu benar-benar membuatku terkejut. Yahh..untuk apa aku memngkaji Al-Qur’an? Untuk apa aku harus mengetahui isinya? Padahal jelaslah sudah kalau aku adalah seorang Nasrani. Kristen Protestan.
          Sesaat aku diam dan merenung. Mencoba mencari jawaban atas tingkahku yang mungkin bisa dibilang aneh ini. Lampu-lampu pikiranku akhirnya muncul juga. “ Sebenarnya, aku penasaran Mang. Aku penasaran dengan Islam. Aku ingin mencari jawab atas semua kesalahanku. Aku ingin berubah Mang. Aku pengin seperti mereka. Bebas tak terikat sepertiku. Aku pengin Ayah dan Bunda di sini. Aku pengin mereka selalu ada untukku, seperti orangtua mereka yang selalu ada di samping mereka, membimbing mereka. Apa yang harus aku lakukan Mang? ”, teriakku dengan air mata yang mengalir dari pelupuk mataku. Kini, aku tak tahan lagi. Dengan siapa aku mencurahkan isi hatiku, selain pada Mang Uli yang setia menemaniku.
          “ Mbak Maria, ndak boleh gitu Mbak. Berdoa sama Allah. Minta petunjuk padaNya. Allah kan selalu ada untuk kita. ”, jawaban Mang Uli sedikit menenangkan hatiku.
          Aku mengusap tangisku. Aku mulai membuka Al-Qur’an dan Mang Uli tetap saja masih di sampingku. Kulihat, ia sedang menatapku dan tersenyum. Beliau mungkin tahu bahwa aku tak mengerti bagaimana membuka Al-Qur’an. Lalu, Mang Uli mengajariku membukanya dan membuka beberapa surat, terutama surat Al-Ikhlas yang sangat menarik hatiku. Aku pahami Al-Qur’an terjemahan itu. Aku berpikir, jika Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, mengapa dalam kitabku Tuhan mempunyai seorang Ibu? Rohis benar-benar membuka mataku. Mengubah pola pikirku.
          Aku mulai sibuk mencari jawaban atas rasa penasaranku. Ah, banyak sekali surat yang termuat dalam kitab ini. Aku lihat dalam daftar isi. Di sana, terdapat surat Maryam.
          “ Seperti namaku.”, kataku.
          “ Apa Mbak? ”, tanya Mang Uli.
          “ Maryam Mang, namaku Maria. Maria Chisilia Rebecca. Tak jauh berbeda bukan? ”
          “ Surat Maryam itu ya? Itu kan menceritakan Nabi Isa dan Ibunya yang bernama Maryam.”
          “ Nabi Isa? Bukankah putra Bunda Maria itu Yesus Mang?”, tanyaku yang semakin menggebu.
          “ Bukan Mbak. Di dalam Al-Qur’an, Isa disebutkan sebagai putra Maryam. Dan Isa dikejar-kejar oleh orang-orang. Lalu dengan kuasa Allah, pemimpin yang mengejar Isa tadi disamakan wajahnya dengan Isa. Dan Nabi Isa, diangkat oleh Allah menuju ke langit. Lalu oleh pasukannya, ia sendiri disalib.”
          “ Kalau boleh tahu, siapa orang yang mengejar Nabi Isa Mang?”
          “ Ialah Yudas, Mbak. ”
          “ Apakah itu yang disebut kaum Nasrani dengan sebutan Yesus? Tuhanku itu?”
          “ Bacalah Mbak. Maka Mbak Maria akan tahu kebenarannya.”, jawaban Mang Uli itu benar-benar membuatku semakin penasaran.
          Aku mulai membaca ayat demi ayat. Saat itu pula, aku bisa menitikkan airmataku. Bahwa selama ini aku menganut agama yang salah. Agama yang tidak diridhai Allah. Tanpa disadari, Ayah dan Bunda telah berada di belakangku. Kelihatannya mereka marah, mungkin karena aku membaca kitab ini. Sambil sesenggukan, aku menyapa mereka. Namun, mereka tetap dingin.
          “ Maria hentikan. Kau bukanlah orang Islam. Kenapa membaca kitab itu? Kau bodoh sekali.”, kata Bunda kepadaku. Sementara Ayah, mungkin beliau sekarang sedang memarahi Mang Uli. Suaranya terdengar sampai sini.
          “ Bunda. Aku memang bodoh. Dan aku sangat bodoh. Karena, tak ada lagi pelukan hangat setiap harinya untukku.  Aku kesepian bunda. Bunda dan Ayah tak mau mengerti tentang keadaanku. Dan tahukah Bunda? Setelah membaca kitab itu,  kurasa aku memang benar-benar bodoh. Aku berada di jalan yang salah. ”
          “ Apa maksudmu di jalan yang salah? Kau tak tahu pengorbanan Tuhan yang disalib demi menyelamatkan dosa para hambanya? Kau tak menyadari itu Maria? ”
          “ Tuhan? Dia tak lagi Tuhanku Bunda. Dia disalib, sebab pernah mengejar Nabi Isa Putra Maryam. Dan Bunda Maria tidak pernah mempunyai anak bernama Yesus, Bunda.”
          “ Hentikan omong kosongmu Maria, kau tahu kan?....”, belum sempat Bunda menyelesaikan kata-katanya, beliau menangis sejadinya.
          “ Maria, Bunda dulu pernah murtad dari Islam. Dari dulu, Bunda ingin sekali kembali ke agama Islam. Tapi Ayah tetap saja melarang Bunda menjadi muallaf kembali. Itulah sebabnya Bunda marah padamu sayang. Karena Ayah adalah Kristen tulen.”, kata Bunda dengan berlinangan airmata.
          Kami terdiam. Sementara, di luar sana mungkin terjadi perdebatan seru antara Ayah dengan Mang Uli. Aku berlari ke luar. Aku ingin meyakinkan pada Ayah, bahwa Islam itu benar. Tapi semua di luar dugaanku. Ternyata, kata-kata Mang Uli bisa menampar hati Ayah. Di situ pulalah Ayah menangis. Sementara Bunda, beliau sesenggukan di belakangku. Kini waktu bagaikan dihantam sembilu. Sebelumnya, aku tak percaya. Dengan masuknya Al-Qur’an di rumah ini, bisa membenarkan yang salah dan menengakkan yang patah.
          Dengan kesepakatan Ayah, Bunda dan aku sendiri, kini kami bertekad masuk Islam. Mengucapkan kalimat syahadat yang dipimpin oleh Mang Uli. Suaranya yang membeningkan hati dan pikiranku, lembut dan enak di dengar. Dan alhamdulillah, karena penasaranku akan rohis dan Islam terbayar sudah.

          Kini aku mulai masuk keanggotaan rohis di sekolah dan menemukan teman baik di sana. Berkat rohis, Islam menyelamatkanku. Rohis, I LOVE YOU ..



Ditulis pada 1 Agustus 2012