Aku selalu berusaha untuk memandang keluar. Dengan pemikiranku
sendiri, aku mulai melukiskan kebimbangan hatiku. Aku heran, mengapa
akhir-akhir ini Ayah dan Bunda tak lagi menemaniku? Mengapa Ayah dan Bunda
sibuk dengan karirnya? Mengapa mereka sekarang tak berada di sisiku? Mengapa
mereka tak punya sedikitpun waktu untukku sekarang? Mengapa, mengapa dan mengapa
serta banyak pertanyaan lain untuk mereka. Namun tetap saja Ayah dan Bunda
tidak berada di sisiku sekarang ini.
Sementara tadi pagi, mereka hanya menitipkan seiris roti
tawar bertabur messes kacang kesukaanku, dan sebuah note kecil yang bertuliskan
:
Maria sayang, maafkan Ayah dan Bunda kalau harus pergi
ke kantor dulu tanpa membangunkan engkau. Seiris roti kesukaanmu sudah Bunda siapkan di
atas meja makan beserta susu coklat hangat. Selamat menikmati dan semoga Tuhan
memberkati kita hari ini…
Love U dear…
Ayah & Bunda
Senang rasanya, Bunda masih mau membuatkan roti kesukaanku.
Tetapi, saat aku mau berangkat ke sekolah, aku mulai merasa jengkel padanya.
Sebab, aku tak lagi mendapat pelukan hangat dari beliau setiap paginya. Yah,
Bundaku bekerja sebagai Direktur Umum di sebuah perusahaan yang terkenal di
kota ini. Sementara Ayah, kini beliau tak lagi bisa mengantarkanku ke sekolah,
karena jabatan baru sebagai Kepala Bagian Pemasaran yang diterimanya membuat
beliau semakin banyak tugas. Maka, aku harus diantar jemput oleh Mang Uli,
sopir keluarga kami.
Ahhh..rasanya sedih sekali. Saat aku melihat teman-temanku
diantar oleh orangtua mereka ke sekolah. Tapi tidak untukku. Dengan langkah
gontai, aku keluar dari dalam mobil dan mulai memasuki sekolahku yang berada di
jantung kota Magelang ini, SMA Bhakti Persada.
“ Mariaaa..hei, tunggu !!! ”, seru salah satu temanku,
Anissa. Ia sedang mempercepat langkahnya. Dan aku, menungguinya di tangga
menuju kelas.
“ Ada apa? ”, tanyaku.
“ Kau kenapa Maria? Ada masalah? Berceritalah.. ”, katanya
sambil membawa banyak lembaran yang entah apa, aku sendiri pun tak tahu.
“ Ah tidak ”, jawabku sekenanya.
“ Lalu, ada apa denganmu? Kenapa kau terlihat murung? ”
“ Hm, sudahlah Nis.. Ayo ke kelas. Sebentar lagi bel
berbunyi, bukan? ”
“ Baiklah..”, jawabnya dengan rasa penasaran yang masih
tersimpan.
Anissa, ia adalah perempuan yang aku kagumi di kelasku.
Sebab, dia pintar dan aktif, baik di kelas maupun dalam berorganisasi. Ia juga
seorang yang berjilbab dan rendah hati serta penyabar. Anissa sangat
menghormatiku, walaupun aku berbeda agama dengannya. Bahkan, ia jauh lebih
menghargai daripada temanku sesama Kristen. Itulah yang membuatku semakin kagum
dengan sosok Anissa.
“ Rin, nanti ada kajian lho di mushola. Jangan izin lagi ya
! ”, kata Anissa kepada Arini. Arini adalah teman semejaku.
“ Iya deh, nanti ndak
bakal izin lagi kok. Soale ketuane yang nyuruh..hehe
”, jawab Arini dengan bahasa Jawanya yang kental.
Usai percakapan itu aku mulai penasaran. Suatu organisasi kerohanian
islam di sekolahku mengadakan kajian di mushola sekolah. Berisi apakah kajian
itu? Apakah membahas suatu perbandingan agama yang umumnya dikatakan oleh
teman-teman Kristenku kemarin itu? Rasa penasaranku terus bergejolak di hati.
Seiring dengan berjalannya waktu yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar
hari ini, pikiranku semakin membuncah pada kajian itu. Haruskah aku menyelidiki
kajian rohis itu? Dengan tujuan, agar aku dapat membedakan manakah yang benar
dan salah? Apakah pendapat dari temanku itu atau rohis SMA Bhakti Persada yang
ingin mengacaukan agama non-is?
“ Eh rin, nanti rohis ada kajian ya? ”, aku mulai
memberanikan diri untuk bertanya pada Arini. Ia terdiam dan menatapku.
Tersenyum..
“ Iya, emange
kenapa Maria? Meh ikut? ”, goda
Arini.
“ Ehm.. Memangnya boleh apa orang non-is ikut kajian? ”,
tanyaku
“ Boleh saja. Why not?
”, jawab Anissa dengan senyum manisnya.
“ Lho, ketuane wae
mengijinkan. Emange ada apa to? Kok
tumben banget meh ikut kajian rohis?
”, kali ini Arini bertanya dengan nada yang serius.
“ Eh rin, nggak
boleh gitu dong. Jaga bicaramu rin..jangan sampai Maria tersinggung oleh
perkataanmu tadi. ”, Anissa yang berbisik ke arah Arini, dan terdengar olehku.
“ Nggak apa-apa
kok Nis. Aku sama sekali nggak
tersinggung. Maaf ya, tadi pagi sikapku ketus dan nggak mau jawab pertanyaanmu. ”, kataku sambil menahan lara.
“ Alhamdulillah.. nggak
apa-apa Maria. Aku juga minta maaf ya, kalau pertanyaanku membuatmu agak kesal
gitu. ”, katanya dengan tersenyum.
“ O, lha kowe podho..kok
pada maaf-maafan ki ono opo to? Aku ora ngerti iki. ”, sanggah Arini yang
tidak tahu tentang kejadian pagi tadi.
Aku dan Anissa terkekeh, sedangkan Arini hanya mengomeli
kami. Yah, mungkin kebersamaan selain dengan orangtua, dan itu dengan mereka
inilah yang kudambakan. Dan tetap saja, aku merindukan saat bersama Ayah dan
Bunda. Kami kembali fokus pada soal Kimia yang berada di depan mata kami. Dua
jam pelajaran yang kosong, telah berhasil menyulapku dekat dengan dua muslimah
ini.
Waktu pun telah berlalu, aku kini tengah berada dalam
sekumpulan anggota rohis untuk mendengarkan kajian yang disampaikan oleh
seorang wanita yang kerap disapa Mbak
Danik. Semua mata memandangku, kecuali Anissa dan Arini. Maklumlah, aku berbeda
dengan mereka. Aku tidak berjilbab seperti mereka. Aku tak anggun selayaknya
mereka. Dan aku bukanlah seorang muslimin. Aku seorang Protestan. Apalagi teman
sesama Kristenku, mereka memandangku seakan penuh tanda tanya dan mencibirku.
Ah, aku tak peduli. Aku hanya ingin mencari jawaban tentang semua ini. Saat
mereka bilang, bahwa Islam itu agama yang suka membedakan dan mengucilkan agama
lain.
Dari sinilah aku mulai mengagumi Islam. Ternyata dugaan
mereka tentang Islam sangatlah salah. “ Islam tidak pernah membedakan dan
mengucilkan agama lain, karena Islam percaya bahwa Allah hanya satu. Allah
tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan itu telah terbukti. Sebab Allah
berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Ikhlas. ”, jawab Mbak Danik saat aku bertanya pada
session tanya jawab.
Karena hari sudah sore, dan Mang Uli telah menungguiku
hampir 1 jam, maka aku mulai pamit kepada teman-teman baruku itu. Di sepanjang
perjalanan menuju rumah, aku mulai berkhayal jika aku masuk Islam dan mengenakan
jilbab seperti anak-anak rohis tadi. Pasti aku akan merasa nyaman dari godaan
lelaki nakal.
“ Ngelamunin apa sih Mbak, kok senyum-senyum sendiri? ”,
tanya Mang Uli yang membuyarkan lamunanku.
“ Ah, tidak Mang. Oh iya, Mang Uli punya Al-Qur’an kan
Mang? Nanti sore bawa ke rumah ya.. Aku tunggu lho, pokoknya jangan sampai lupa
! ”, kataku pada beliau. Dalam hati, aku kepengin sekali bisa mengetahui isi
Al-Qur’an itu.
“ Hah? Untuk apa sih Mbak? ”, tanya Mang Uli yang mungkin
penasaran dengan kata-kataku tadi.
“ Ehm, ndak
apa-apa Mang, Maria hanya ingin tahu bagaimana isinya. Itu saja. ”, jawabku
dengan senyum dan lamunan yang terus membumbung.
Sesampainya dirumah, tak kulihat sosok Ayah dan Bunda.
Mungin mereka belum pulang, pikirku. Aku mulai masuk ke kamar dan membuka buku
Agama yang diterangkan guruku tadi pagi. Ah, rasa lapar melandaku. Sementara
Ayah dan Bunda belum pulang juga.
“ Huftt..ini kan sudah jam 5 sore, masa Ayah dan Bunda
belum pulang juga? ”, keluhku.
Tok..tok..tokkk.. “ Permisi Mbak Maria. ”, seru seseorang
di luar sana.
Ku buka pintu kamarku dan kudapati Mang Uli membawakanku
sebuah buku, dan pasti itu Al-Qur’an. Tak lupa, beliau membawakanku serantang
makanan.
“ Ini Mbak Al-Qur’annya. ”, kata Mang Uli seraya
menyerahkan kitab itu kepadaku. “ Ini juga ada sedikit makanan dari rumah.
Pasti Mbak Maria lapar kan? ”, godanya.
“ Oh, terimakasih Mang. Terimakasih juga makanannya. ”,
ucapku. “ Mang Uli sudah makan belum? Kalau belum, sini makan sama Maria. ”,
ajakku sambil membawa dua benda itu menuruni tangga menuju ruang makan.
“ Sudah Mbak, Mang tadi makan di rumah. ”, kata beliau.
Kami pun terdiam. Aku mulai menyantap makanan itu. “ Emm..kalau boleh tahu,
untuk apa Mbak Maria mengkaji Al-Qur’an? ”, tanya Mang Uli itu benar-benar
membuatku terkejut. Yahh..untuk apa aku memngkaji Al-Qur’an? Untuk apa aku
harus mengetahui isinya? Padahal jelaslah sudah kalau aku adalah seorang
Nasrani. Kristen Protestan.
Sesaat aku diam dan merenung. Mencoba mencari jawaban atas
tingkahku yang mungkin bisa dibilang aneh ini. Lampu-lampu pikiranku akhirnya
muncul juga. “ Sebenarnya, aku penasaran Mang. Aku penasaran dengan Islam. Aku
ingin mencari jawab atas semua kesalahanku. Aku ingin berubah Mang. Aku pengin seperti
mereka. Bebas tak terikat sepertiku. Aku pengin Ayah dan Bunda di sini. Aku
pengin mereka selalu ada untukku, seperti orangtua mereka yang selalu ada di
samping mereka, membimbing mereka. Apa yang harus aku lakukan Mang? ”, teriakku
dengan air mata yang mengalir dari pelupuk mataku. Kini, aku tak tahan lagi.
Dengan siapa aku mencurahkan isi hatiku, selain pada Mang Uli yang setia
menemaniku.
“ Mbak Maria, ndak boleh gitu Mbak. Berdoa sama Allah.
Minta petunjuk padaNya. Allah kan selalu ada untuk kita. ”, jawaban Mang Uli
sedikit menenangkan hatiku.
Aku mengusap tangisku. Aku mulai membuka Al-Qur’an dan Mang
Uli tetap saja masih di sampingku. Kulihat, ia sedang menatapku dan tersenyum.
Beliau mungkin tahu bahwa aku tak mengerti bagaimana membuka Al-Qur’an. Lalu,
Mang Uli mengajariku membukanya dan membuka beberapa surat, terutama surat
Al-Ikhlas yang sangat menarik hatiku. Aku pahami Al-Qur’an terjemahan itu. Aku
berpikir, jika Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, mengapa dalam
kitabku Tuhan mempunyai seorang Ibu? Rohis benar-benar membuka mataku. Mengubah
pola pikirku.
Aku mulai sibuk mencari jawaban atas rasa penasaranku. Ah,
banyak sekali surat yang termuat dalam kitab ini. Aku lihat dalam daftar isi.
Di sana, terdapat surat Maryam.
“ Seperti namaku.”, kataku.
“ Apa Mbak? ”, tanya Mang Uli.
“ Maryam Mang, namaku Maria. Maria Chisilia Rebecca. Tak
jauh berbeda bukan? ”
“ Surat Maryam itu ya? Itu kan menceritakan Nabi Isa dan
Ibunya yang bernama Maryam.”
“ Nabi Isa? Bukankah putra Bunda Maria itu Yesus Mang?”,
tanyaku yang semakin menggebu.
“ Bukan Mbak. Di dalam Al-Qur’an, Isa disebutkan sebagai
putra Maryam. Dan Isa dikejar-kejar oleh orang-orang. Lalu dengan kuasa Allah,
pemimpin yang mengejar Isa tadi disamakan wajahnya dengan Isa. Dan Nabi Isa,
diangkat oleh Allah menuju ke langit. Lalu oleh pasukannya, ia sendiri disalib.”
“ Kalau boleh tahu, siapa orang yang mengejar Nabi Isa
Mang?”
“ Ialah Yudas, Mbak. ”
“ Apakah itu yang disebut kaum Nasrani dengan sebutan
Yesus? Tuhanku itu?”
“ Bacalah Mbak. Maka Mbak Maria akan tahu kebenarannya.”,
jawaban Mang Uli itu benar-benar membuatku semakin penasaran.
Aku mulai membaca ayat demi ayat. Saat itu pula, aku bisa
menitikkan airmataku. Bahwa selama ini aku menganut agama yang salah. Agama
yang tidak diridhai Allah. Tanpa disadari, Ayah dan Bunda telah berada di
belakangku. Kelihatannya mereka marah, mungkin karena aku membaca kitab ini.
Sambil sesenggukan, aku menyapa mereka. Namun, mereka tetap dingin.
“ Maria hentikan. Kau bukanlah orang Islam. Kenapa membaca
kitab itu? Kau bodoh sekali.”, kata Bunda kepadaku. Sementara Ayah, mungkin
beliau sekarang sedang memarahi Mang Uli. Suaranya terdengar sampai sini.
“ Bunda. Aku memang bodoh. Dan aku sangat bodoh. Karena,
tak ada lagi pelukan hangat setiap harinya untukku. Aku kesepian bunda. Bunda dan Ayah tak mau
mengerti tentang keadaanku. Dan tahukah Bunda? Setelah membaca kitab itu, kurasa aku memang benar-benar bodoh. Aku
berada di jalan yang salah. ”
“ Apa maksudmu di jalan yang salah? Kau tak tahu
pengorbanan Tuhan yang disalib demi menyelamatkan dosa para hambanya? Kau tak
menyadari itu Maria? ”
“ Tuhan? Dia tak lagi Tuhanku Bunda. Dia disalib, sebab
pernah mengejar Nabi Isa Putra Maryam. Dan Bunda Maria tidak pernah mempunyai
anak bernama Yesus, Bunda.”
“ Hentikan omong kosongmu Maria, kau tahu kan?....”, belum
sempat Bunda menyelesaikan kata-katanya, beliau menangis sejadinya.
“ Maria, Bunda dulu pernah murtad dari Islam. Dari dulu,
Bunda ingin sekali kembali ke agama Islam. Tapi Ayah tetap saja melarang Bunda
menjadi muallaf kembali. Itulah sebabnya Bunda marah padamu sayang. Karena Ayah
adalah Kristen tulen.”, kata Bunda dengan berlinangan airmata.
Kami terdiam. Sementara, di luar sana mungkin terjadi
perdebatan seru antara Ayah dengan Mang Uli. Aku berlari ke luar. Aku ingin meyakinkan
pada Ayah, bahwa Islam itu benar. Tapi semua di luar dugaanku. Ternyata,
kata-kata Mang Uli bisa menampar hati Ayah. Di situ pulalah Ayah menangis.
Sementara Bunda, beliau sesenggukan di belakangku. Kini waktu bagaikan dihantam
sembilu. Sebelumnya, aku tak percaya. Dengan masuknya Al-Qur’an di rumah ini,
bisa membenarkan yang salah dan menengakkan yang patah.
Dengan kesepakatan Ayah, Bunda dan aku sendiri, kini kami
bertekad masuk Islam. Mengucapkan kalimat syahadat yang dipimpin oleh Mang Uli.
Suaranya yang membeningkan hati dan pikiranku, lembut dan enak di dengar. Dan
alhamdulillah, karena penasaranku akan rohis dan Islam terbayar sudah.
Kini aku mulai masuk keanggotaan rohis di sekolah dan menemukan
teman baik di sana. Berkat rohis, Islam menyelamatkanku. Rohis, I LOVE YOU ..
Ditulis pada 1 Agustus 2012